ETIKA BERBICARA YANG BAIK DAN BENAR
Warga belajar dan anak didik--sekalian, semua orang kecuali yang tuna wicara atau tuna rungu (bisu tuli) niscaya mampu berbicara. Namun tidak setiap orang bisa berbicara dengan baik dan benar. Kalau bicara sekedar bicara, anak kecil pun sanggup. Balita usia dua-3 tahun sudah pintar berbicara, minimal bisa memanggil ayah ibunya. Bahkan tangisan bayipun sebenarnya merupakan bentuk bicara juga.
Berbicara merupakan mengeluarkan, menyusun kata-kata secara teratur melalui mulut sehingga dapat dimengerti oleh versus bicaranya. Bicara pada sini diartikan menjadi bentuk komunikasi, dengan bicara maka komunikasi bisa terjalin, Tetapi berkata-istilah tanpa artipun sebenarnya bicara jua, hanya saja belum dimasukan ke pada kategori komunikasi.
Kemampuan bicara sebagai penting dalam konteks menjalin hubungan komunikasi dengan orang lain. Dalam perkembangannya, bicara sebagai lebih ruwet lantaran ada batasan-batasan etika serta aturannya. Bicara kemudian terkotak-kotak oleh kepentingan dan maksud-maksud tertentu. Setiap aspek kehidupan mempunyai aturan serta etika tersendiri dalam berbicara.
Faktor utama dalam berbicara merupakan bahasa. Makna bahasa kini lebih luas lagi, bukan hanya merujuk dalam suku bangsa tetapi sudah merambah dalam disiplin ilmu. Kita sekarang nir hanya mengenal bahasa jawa, Madura, Sunda serta sebagainya yang menurut kesukuan, melainkan bahasa ekonomi, bahasa politik dan sebagainya pada lingkup disiplin ilmu.
Selanjutnya, berdasarkan bahasa tadi menghipnotis etika dan anggaran bicara. Antara bahasa hukum dan bahasa ekonomi ada anggaran serta etikanya sendiri, misalnya halnya bahasa Jawa dan bahasa Sunda yg pada dalamnya nir terpisahkan sang istiadat norma serta budaya menurut mana bahasa itu dari.
Dalam pergaulan etika berbicara itu krusial, tidak boleh dari bicara. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan sosial, seorang biasanya semakin tinggi juga etikanya pada berbicara. Kelas pendidikan serta sosial acapkali sebagai faktor pembeda dalam berbicara. Antara bahasa tukang becak dan dosen kentara berbeda. Dan bial dibolak-balik kesannya akan semakin semrawut.
Kesannya akan lain. Seorang dosen menggunakan strata pendidikan tinggi cita rasanya nir pantas berbicara menggunakan gaya bahas tukang becak yg terbiasa kasar, cespleng serta nir mengenal unggah-ungguh. Sebaliknya, tukang becak akan sebagai lucu jika memaksakan diri berbicara menggunakan langgam berbicara seseorang dosen yg cenderung ilmiah serta rumit dicerna orang biasa.
Tujuan utama berbicara merupakan membuat versus bicara mengerti apa yg dikatakannya. Tidak peduli bahasa apa yg digunakan, punya ungguh-ungguh atau nir, yang penting orang yang diajak berbicara menangkap dengan jelas maksudnya. Tetapi dalam perkembangannya, seiring dengan kemajuan peradaban, mengerti saja tidak cukup.
Sekarang ini, disamping bisa dimengerti harus jua mencerminkan etika, termasuk didalamnya merupakan unggah-unggah. Apalagi pada dunia timur (oriental)yg sangat menghormati nilai-nilai kesopanan, unggah-ungguh menjadi faktor yg tak boleh ditinggalkan. Khususnya pada rakyat Jawa, Unggah-ungga memegang peranan sangat dominan.
Bahkan bahasa yg dipakaipun berlainan antara bicara kepada orang tua, saudara termuda, atasan dan sebagainya. Orang akan semakin dihormati bila memahami unggah-ungguh. Dan bila unggah-ungguh itu dilanggar, istiadat-norma sudah menyiapkan sangsinya. Orang yg nir tahu sopan-santun dalam berbicara niscaya akan dikucilkan selamanya.
1. Berbicara Harus Menatap Lawan Bicara
Yang harus anda perhatikan saat berbicara adalah konsentrasikan diri anda sepenuhnya pada versus bicara. Jangan melihat ke arah lain sehingga membuat lawan bicara tersinggung. Menatap lawan bicara benar-benar-sungguh (bukan mendelik/melirik) termasuk etika berbicara yang baik. Obyek anda adalah lawan bicara bukan yg lain.
jangan tinggalkan etika waktu anda sedang berkomunikasi dengan orang lain. Kita sendiri pula niscaya tersinggung apabila terdapat orang lain mengajak bicara datang-datang memutar hidungnya ke tempat lain. Mau menanggapi bicaranya saja sebenarnya sudah wajib disyukuri, jangan malah berpindah hati.
Bicara itu bukan hanya dengan lisan, tetapi jua menggunakan hati dan semua tubuh kita kecuali bila kita berbicara melalui telepon. Ketika berbicara sebaiknya semua gerak tubuh kita mengarah ke versus bicara sehingga kita tahu bagaimana reaksi versus bicara saat membalas apa yang kita ucapkan. Kalau pandangan kita beralih ke tempat lain, kita tahu apakah versus bicara lapang dada dengan ucapannya atau tidak. Bisa jadi versus bicara bilang sepakat tetapi mimik wajahnya dan kita tahu lantaran pandangan kita nir tertuju kepadanya.
Pada waktu berbicara semestinya kita seudah mempersiapkan mental kita sepenuhnya. Lantaran yg kita hadapi adalah manusia yang memiliki perasaan, sanggup senang dan susah, sanggup tersinggung dan berongsang. Oleh karena itu, baik itu mimik maupun mata kita harus menunjukkan paras yang bersahabat dan sungguh-sungguh.
2. Suara Harus Terdengar Jelas
Disamping kita wajib menatap versus bicara, yang tak kalah pentingnya merupakan menata suara kita supaya lawan bicara bisa menangkap menggunakan kentara apa yang sedang kita bicarakan. Tidak boleh terlalu terburu-buru serta jangan terlalu pelan. Usahakan suara yang keluar sanggup terdengar kentara agar versus bicara dapat terdengar apa yang kita ucapkan.
Karena syarat tertentu acapkali kita nir dapat mengontrol suara kita, sehingga menjadi terlalu cepat. Lawan bicara merasa perlu menegaskan pulang dengan bertanya balik . Atau karena nir ingin didengar orang lain, kita berusaha merendahkan intonasi suara sehingga di telinga lawan bicara terdengar misalnya desis ular. Kedua-duanya bukan cara yg efektif dalam berbicara.
Berbicara menggunakan pelan tapi jelas terdengar. Tidak perlu terlalu keras nir perlu terlalu lemah. Yang perlu kita perhatikan juga merupakan tingkat emosional kita. Bicaralah ketika emosi kita sedang tidak konsentrasi. Contohnya jika kita sedang marah atau sedih, sebaiknya supaya kemarahan atau kesedihan tersebut nir terlihat sang versus bicara.
Percuma saja kita berbicara terburu-buru hingga nafas kita tersengal-sengal, lawan bicara susah mengerti. Atau terlalu lembut seperti orang yang sedang dirundung derita berkepanjangan, sehingga hanya terdengar misalnya rintihan yg menyayat hati. Oleh karenanya hindarilah berbicara terburu-buru atau terlalu pelan. Sebab pada syarat berbicara misalnya itu, sulit untuk meninta respon yg obyektif berdasarkan lawan bicara.
Di samping nir efektif, pembicaraan yang kurang terdengar kentara di indera pendengaran versus bicara kadang-kadang menyebabkan kejengkelan bagi lawan bicara. Maunya ingin cepat-cepat selesai tetapi malah mengakibatkan dilema baru yg tidak terselesaikan-terselesaikan. Tentunya ini akan merugikan diri kita sendiri.
3. Gunakanlah Tata Bahasa yg Baik dan Benar
Bahasa dapat mengambarkan kualitas kepribadian serta latar belakang seseorang. Bahasa pegawai kantor, jelas berbeda menggunakan orang berjualan di pasar. Salah satu unsur pembedanya masih ada dalam pemakaian tata bahasa yang dipakai. Bahasa pegawai kantor kentara lebih punya etika menurut dalam orang pasar. Bahasa anak gaul tidak sama menggunakan bahasa ningrat keraton.
Sebelum berbicara usahakan istilah-kata diatur terlebih dahulu. Jangan sampai di tengah kalimat datang-datang putus karena kita nir memahami apa yang akan kita bicarakan. Dan tentunya nir boleh menggunakan istilah-istilah yang kasar, apalagi yang meninggung hati lawan bicara.
Kita wajib mengetahui mana subyek, mana predikat, obyek dan kabar dalam sebuah kalimat. Kita wajib memahami jua bagaimana menempatkan perangkat kalimat pada tempat yg benar. Jangan hingga kita gundah dengan kalimat yang kita ucapkan sendiri. Umpamanya dengan membolak-pulang kedudukan subyek, predikat dan obyek sebagai akibatnya sebagai kalimat yang nir beraturan.
4. Jangan memakai Nada Suara yang Tinggi
Citra pegawai tempat kerja merupakan citra kesopanan adalah orang lain melihat pegawai kantor menjadi orang yang memahami etika, punya tata-krama serta santun pada segala tindak-tanduknya. Sikap serta perilakunya mencerminkan orang berpendidikan.
Kesan tersebut akan semakin membekas waktu kita sedang berbicara. Dari pembicaraan itu orang lain akan bisa menilai, apakah kita seseorang pegawai tempat kerja atau bukan. Gaya bicara, intonasi yang dipakai, serta rapikan bahasa, jelas berpengaruh besar di indera pendengaran pendengar.
Sebagai pegawai tempat kerja, sebaiknya kita berbicara menggunakan kalimat yg kentara serta intonasi yg sedang-sedang saja. Tidak terlalu tinggi, jua tidak terlalu rendah. Tunjukan kesan bahwa kita sanggup mengontrol intonasi dengan baik.
Pakailah nada suara yang datar-datar saja, sebagai akibatnya setiap orang bisa mendengarnya dengan baik. Kalau terlalu tinggi dikhawatirkan tidak semua pendengarnya bisa mendengar dengan baik. Apalagi apabila kita ditunjuk sebagai pembicara, nada bunyi wajib benar-sahih dijaga. Sebab, pendengar pada sebuah forum baik ceramah maupun diskusi cenderung beragam.
Jika nada bunyi terlalu tinggi kita akan cepat letih. Orang tidak mungkin sanggup berteriak selama satu jam terus-menerus. Apa yang kita bicarakan sebaiknya bisa kita nikmati jangan malah sebagai beban.
Disamping itu, kurang beretika cita rasanya jika kita berbicara menggunakan nada suara yang tinggi. Kecuali apabila kita sedang membakar semangat para anak-anak muda buat terjun ke medan perang. Dalam situasi yg biasa, aman serta tidak darurat, Sebaiknya nada suara kita nir terlalu tinggi.
5. Pembicaraan Mudah Dimengerti
Tujuan primer berbicara merupakan buat membuat versus bicara mengerti apa yang sedang kita bicarakan. Oleh sebab itu, usahakan kita cukup toleran dengan para pendengar kita. Kita wajib pandai -pandai memilih lawan bicara, karena hal ini berkaitan dengan bahasa yg kita gunakan. Jangan lantaran ingin dipercaya menjadi pegawai tempat kerja ke mana-mana kita selalu memakai bahasa taraf tinggi.
Kita harus pintar mengikuti keadaan dengan syarat dan latar belakang lawan bicara yg kita hadapi. Jangan terjebak sang keinginan untuk menjaga image atau gengsi sehingga mengorbankan lawan bicara.
Pakailah bahasa yang sederhana serta mudah dimengerti. Tidak penting anggapan orang lain terhadap diri kita, yg krusial adalah orang lain mengerti terhadap apa yang sedang kita bicarakan. Biarkan orang lain menganggap diri kita bodoh, dan seolah-olah pitar mereka, itu hak mereka.
Sering kita mendengar ada orang berbicara menggunakan menggunakan bahasa yg tinggi. Padahal pendengarnya hanya para pedagang yang nir sempat mengikuti perkembangan jaman. Memang dia berhasil menciptakan kesan pada tengah audiennya bahwa ia pembicara yg pintar, Tetapi ketika ditanyakan kepada mereka apakah mereka mengerti, mereka malah resah.
Kita seluruh niscaya punya pengalaman yang sama ketika mengikuti khotbah Jum'at. Ada khatib yg selama khotbahnya memakai bahasa Arab di tengah jamaah yang seluruhnya orang Indonesia. Yakinkah anda bahwa jamaah mengerti isi khotbah tersebut?
Tipsnya sebelum mengajak bicara, ketahuilah dulu siapa versus bicaranya. Kalau memang versus bicara lebih mudah mengerti dengan bahasa daerah, maka kita harus beradaptasi.
Dari bahasa pada atas semakin mengertilah kita bahwa ternyata berbicara itu nir semudah yg kita bayangkan. Namun penulis jua tidak sedang mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa berbicara itu sukar. Singkatnya, sebagai pegawai tempat kerja kita wajib permanen menjaga dengan baik etika kita pada berbicara.
Sumber : Disarikan berdasarkan Modul Etika Kerja Kesetaraan paket C Sekolah Menengah Atas 2009.
Berbicara merupakan mengeluarkan, menyusun kata-kata secara teratur melalui mulut sehingga dapat dimengerti oleh versus bicaranya. Bicara pada sini diartikan menjadi bentuk komunikasi, dengan bicara maka komunikasi bisa terjalin, Tetapi berkata-istilah tanpa artipun sebenarnya bicara jua, hanya saja belum dimasukan ke pada kategori komunikasi.
Kemampuan bicara sebagai penting dalam konteks menjalin hubungan komunikasi dengan orang lain. Dalam perkembangannya, bicara sebagai lebih ruwet lantaran ada batasan-batasan etika serta aturannya. Bicara kemudian terkotak-kotak oleh kepentingan dan maksud-maksud tertentu. Setiap aspek kehidupan mempunyai aturan serta etika tersendiri dalam berbicara.
Faktor utama dalam berbicara merupakan bahasa. Makna bahasa kini lebih luas lagi, bukan hanya merujuk dalam suku bangsa tetapi sudah merambah dalam disiplin ilmu. Kita sekarang nir hanya mengenal bahasa jawa, Madura, Sunda serta sebagainya yang menurut kesukuan, melainkan bahasa ekonomi, bahasa politik dan sebagainya pada lingkup disiplin ilmu.
Selanjutnya, berdasarkan bahasa tadi menghipnotis etika dan anggaran bicara. Antara bahasa hukum dan bahasa ekonomi ada anggaran serta etikanya sendiri, misalnya halnya bahasa Jawa dan bahasa Sunda yg pada dalamnya nir terpisahkan sang istiadat norma serta budaya menurut mana bahasa itu dari.
Dalam pergaulan etika berbicara itu krusial, tidak boleh dari bicara. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan sosial, seorang biasanya semakin tinggi juga etikanya pada berbicara. Kelas pendidikan serta sosial acapkali sebagai faktor pembeda dalam berbicara. Antara bahasa tukang becak dan dosen kentara berbeda. Dan bial dibolak-balik kesannya akan semakin semrawut.
Kesannya akan lain. Seorang dosen menggunakan strata pendidikan tinggi cita rasanya nir pantas berbicara menggunakan gaya bahas tukang becak yg terbiasa kasar, cespleng serta nir mengenal unggah-ungguh. Sebaliknya, tukang becak akan sebagai lucu jika memaksakan diri berbicara menggunakan langgam berbicara seseorang dosen yg cenderung ilmiah serta rumit dicerna orang biasa.
Tujuan utama berbicara merupakan membuat versus bicara mengerti apa yg dikatakannya. Tidak peduli bahasa apa yg digunakan, punya ungguh-ungguh atau nir, yang penting orang yang diajak berbicara menangkap dengan jelas maksudnya. Tetapi dalam perkembangannya, seiring dengan kemajuan peradaban, mengerti saja tidak cukup.
Sekarang ini, disamping bisa dimengerti harus jua mencerminkan etika, termasuk didalamnya merupakan unggah-unggah. Apalagi pada dunia timur (oriental)yg sangat menghormati nilai-nilai kesopanan, unggah-ungguh menjadi faktor yg tak boleh ditinggalkan. Khususnya pada rakyat Jawa, Unggah-ungga memegang peranan sangat dominan.
Bahkan bahasa yg dipakaipun berlainan antara bicara kepada orang tua, saudara termuda, atasan dan sebagainya. Orang akan semakin dihormati bila memahami unggah-ungguh. Dan bila unggah-ungguh itu dilanggar, istiadat-norma sudah menyiapkan sangsinya. Orang yg nir tahu sopan-santun dalam berbicara niscaya akan dikucilkan selamanya.
1. Berbicara Harus Menatap Lawan Bicara
Yang harus anda perhatikan saat berbicara adalah konsentrasikan diri anda sepenuhnya pada versus bicara. Jangan melihat ke arah lain sehingga membuat lawan bicara tersinggung. Menatap lawan bicara benar-benar-sungguh (bukan mendelik/melirik) termasuk etika berbicara yang baik. Obyek anda adalah lawan bicara bukan yg lain.
jangan tinggalkan etika waktu anda sedang berkomunikasi dengan orang lain. Kita sendiri pula niscaya tersinggung apabila terdapat orang lain mengajak bicara datang-datang memutar hidungnya ke tempat lain. Mau menanggapi bicaranya saja sebenarnya sudah wajib disyukuri, jangan malah berpindah hati.
Bicara itu bukan hanya dengan lisan, tetapi jua menggunakan hati dan semua tubuh kita kecuali bila kita berbicara melalui telepon. Ketika berbicara sebaiknya semua gerak tubuh kita mengarah ke versus bicara sehingga kita tahu bagaimana reaksi versus bicara saat membalas apa yang kita ucapkan. Kalau pandangan kita beralih ke tempat lain, kita tahu apakah versus bicara lapang dada dengan ucapannya atau tidak. Bisa jadi versus bicara bilang sepakat tetapi mimik wajahnya dan kita tahu lantaran pandangan kita nir tertuju kepadanya.
Pada waktu berbicara semestinya kita seudah mempersiapkan mental kita sepenuhnya. Lantaran yg kita hadapi adalah manusia yang memiliki perasaan, sanggup senang dan susah, sanggup tersinggung dan berongsang. Oleh karena itu, baik itu mimik maupun mata kita harus menunjukkan paras yang bersahabat dan sungguh-sungguh.
2. Suara Harus Terdengar Jelas
Disamping kita wajib menatap versus bicara, yang tak kalah pentingnya merupakan menata suara kita supaya lawan bicara bisa menangkap menggunakan kentara apa yang sedang kita bicarakan. Tidak boleh terlalu terburu-buru serta jangan terlalu pelan. Usahakan suara yang keluar sanggup terdengar kentara agar versus bicara dapat terdengar apa yang kita ucapkan.
Karena syarat tertentu acapkali kita nir dapat mengontrol suara kita, sehingga menjadi terlalu cepat. Lawan bicara merasa perlu menegaskan pulang dengan bertanya balik . Atau karena nir ingin didengar orang lain, kita berusaha merendahkan intonasi suara sehingga di telinga lawan bicara terdengar misalnya desis ular. Kedua-duanya bukan cara yg efektif dalam berbicara.
Berbicara menggunakan pelan tapi jelas terdengar. Tidak perlu terlalu keras nir perlu terlalu lemah. Yang perlu kita perhatikan juga merupakan tingkat emosional kita. Bicaralah ketika emosi kita sedang tidak konsentrasi. Contohnya jika kita sedang marah atau sedih, sebaiknya supaya kemarahan atau kesedihan tersebut nir terlihat sang versus bicara.
Percuma saja kita berbicara terburu-buru hingga nafas kita tersengal-sengal, lawan bicara susah mengerti. Atau terlalu lembut seperti orang yang sedang dirundung derita berkepanjangan, sehingga hanya terdengar misalnya rintihan yg menyayat hati. Oleh karenanya hindarilah berbicara terburu-buru atau terlalu pelan. Sebab pada syarat berbicara misalnya itu, sulit untuk meninta respon yg obyektif berdasarkan lawan bicara.
Di samping nir efektif, pembicaraan yang kurang terdengar kentara di indera pendengaran versus bicara kadang-kadang menyebabkan kejengkelan bagi lawan bicara. Maunya ingin cepat-cepat selesai tetapi malah mengakibatkan dilema baru yg tidak terselesaikan-terselesaikan. Tentunya ini akan merugikan diri kita sendiri.
3. Gunakanlah Tata Bahasa yg Baik dan Benar
Bahasa dapat mengambarkan kualitas kepribadian serta latar belakang seseorang. Bahasa pegawai kantor, jelas berbeda menggunakan orang berjualan di pasar. Salah satu unsur pembedanya masih ada dalam pemakaian tata bahasa yang dipakai. Bahasa pegawai kantor kentara lebih punya etika menurut dalam orang pasar. Bahasa anak gaul tidak sama menggunakan bahasa ningrat keraton.
Sebelum berbicara usahakan istilah-kata diatur terlebih dahulu. Jangan sampai di tengah kalimat datang-datang putus karena kita nir memahami apa yang akan kita bicarakan. Dan tentunya nir boleh menggunakan istilah-istilah yang kasar, apalagi yang meninggung hati lawan bicara.
Kita wajib mengetahui mana subyek, mana predikat, obyek dan kabar dalam sebuah kalimat. Kita wajib memahami jua bagaimana menempatkan perangkat kalimat pada tempat yg benar. Jangan hingga kita gundah dengan kalimat yang kita ucapkan sendiri. Umpamanya dengan membolak-pulang kedudukan subyek, predikat dan obyek sebagai akibatnya sebagai kalimat yang nir beraturan.
4. Jangan memakai Nada Suara yang Tinggi
Citra pegawai tempat kerja merupakan citra kesopanan adalah orang lain melihat pegawai kantor menjadi orang yang memahami etika, punya tata-krama serta santun pada segala tindak-tanduknya. Sikap serta perilakunya mencerminkan orang berpendidikan.
Kesan tersebut akan semakin membekas waktu kita sedang berbicara. Dari pembicaraan itu orang lain akan bisa menilai, apakah kita seseorang pegawai tempat kerja atau bukan. Gaya bicara, intonasi yang dipakai, serta rapikan bahasa, jelas berpengaruh besar di indera pendengaran pendengar.
Sebagai pegawai tempat kerja, sebaiknya kita berbicara menggunakan kalimat yg kentara serta intonasi yg sedang-sedang saja. Tidak terlalu tinggi, jua tidak terlalu rendah. Tunjukan kesan bahwa kita sanggup mengontrol intonasi dengan baik.
Pakailah nada suara yang datar-datar saja, sebagai akibatnya setiap orang bisa mendengarnya dengan baik. Kalau terlalu tinggi dikhawatirkan tidak semua pendengarnya bisa mendengar dengan baik. Apalagi apabila kita ditunjuk sebagai pembicara, nada bunyi wajib benar-sahih dijaga. Sebab, pendengar pada sebuah forum baik ceramah maupun diskusi cenderung beragam.
Jika nada bunyi terlalu tinggi kita akan cepat letih. Orang tidak mungkin sanggup berteriak selama satu jam terus-menerus. Apa yang kita bicarakan sebaiknya bisa kita nikmati jangan malah sebagai beban.
Disamping itu, kurang beretika cita rasanya jika kita berbicara menggunakan nada suara yang tinggi. Kecuali apabila kita sedang membakar semangat para anak-anak muda buat terjun ke medan perang. Dalam situasi yg biasa, aman serta tidak darurat, Sebaiknya nada suara kita nir terlalu tinggi.
5. Pembicaraan Mudah Dimengerti
Tujuan primer berbicara merupakan buat membuat versus bicara mengerti apa yang sedang kita bicarakan. Oleh sebab itu, usahakan kita cukup toleran dengan para pendengar kita. Kita wajib pandai -pandai memilih lawan bicara, karena hal ini berkaitan dengan bahasa yg kita gunakan. Jangan lantaran ingin dipercaya menjadi pegawai tempat kerja ke mana-mana kita selalu memakai bahasa taraf tinggi.
Kita harus pintar mengikuti keadaan dengan syarat dan latar belakang lawan bicara yg kita hadapi. Jangan terjebak sang keinginan untuk menjaga image atau gengsi sehingga mengorbankan lawan bicara.
Pakailah bahasa yang sederhana serta mudah dimengerti. Tidak penting anggapan orang lain terhadap diri kita, yg krusial adalah orang lain mengerti terhadap apa yang sedang kita bicarakan. Biarkan orang lain menganggap diri kita bodoh, dan seolah-olah pitar mereka, itu hak mereka.
Sering kita mendengar ada orang berbicara menggunakan menggunakan bahasa yg tinggi. Padahal pendengarnya hanya para pedagang yang nir sempat mengikuti perkembangan jaman. Memang dia berhasil menciptakan kesan pada tengah audiennya bahwa ia pembicara yg pintar, Tetapi ketika ditanyakan kepada mereka apakah mereka mengerti, mereka malah resah.
Kita seluruh niscaya punya pengalaman yang sama ketika mengikuti khotbah Jum'at. Ada khatib yg selama khotbahnya memakai bahasa Arab di tengah jamaah yang seluruhnya orang Indonesia. Yakinkah anda bahwa jamaah mengerti isi khotbah tersebut?
Tipsnya sebelum mengajak bicara, ketahuilah dulu siapa versus bicaranya. Kalau memang versus bicara lebih mudah mengerti dengan bahasa daerah, maka kita harus beradaptasi.
Dari bahasa pada atas semakin mengertilah kita bahwa ternyata berbicara itu nir semudah yg kita bayangkan. Namun penulis jua tidak sedang mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa berbicara itu sukar. Singkatnya, sebagai pegawai tempat kerja kita wajib permanen menjaga dengan baik etika kita pada berbicara.
Sumber : Disarikan berdasarkan Modul Etika Kerja Kesetaraan paket C Sekolah Menengah Atas 2009.
0 Response to "ETIKA BERBICARA YANG BAIK DAN BENAR"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.