MENGENAL PERKEMBANGAN SENI SASTRA PADA MASA PENJAJAHAN
Warga Belajar--sekalian, ini dia kita akan menyelidiki mengenai bagaimana Perkembangan seni sastra dalam masa penjajahan di Indonesia, buat menambah pengetahuan kita tentang seni serta sastra kita. Perkembangan seni sastra dalam masa penjajahan pada Indonesia berawal saat pemerintah Hindia Belanda mengizinkan pendirian sekolah-sekolah dan mengizinkan penduduk pribumi (meski hanya kalangan terbatas) untuk mengenyam pendidikan (meski terbatas pada taraf eksklusif saja).
Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda pada menjalankan politik etis, khususnya pada bidang pendidikan telah membuka pencerahan rakyat dalam bidang membaca dan menulis. Hal itu ditandai dengan keluarnya aneka macam terbitan surat informasi berbahasa Melayu yg terdapat pada Jakarta juga kotakota akbar lainnya. Surat fakta berbahasa Melayu, diantaranya:
Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda pada menjalankan politik etis, khususnya pada bidang pendidikan telah membuka pencerahan rakyat dalam bidang membaca dan menulis. Hal itu ditandai dengan keluarnya aneka macam terbitan surat informasi berbahasa Melayu yg terdapat pada Jakarta juga kotakota akbar lainnya. Surat fakta berbahasa Melayu, diantaranya:
- Surat warta Bintang Timoer, terbit di Surabaya, tahun 1862;
- Surat keterangan Pelita Ketjil, terbit di Padang, tahun 1882;
- Surat liputan Bianglala di Jakarta dan surat kabar Medan Prijaji pada Bandung yg terbit dalam tahun 1867.
Melalui surat liputan inilah para cerdik cendekiawan pribumi menuangkan berbagai gagasan butir pikirannya. Beberapa cerita bersambung maupun cerita roman, baik yang ditulis pada bahasa Melayu juga bahasa Belanda terbit menghiasi surat fakta tersebut. Beberapa karya sastra pada bentuk cerita bersambung atau roman pada ketika itu, antara lain:
- Hikayat Siti Mariah, karangan H. Mukti, merupakan cerita bersambung yg melukiskan kehidupan sehari-hari;
- Boesono dan Nyai Permana, karangan Raden Mas Tirto Adhisuryo, merupakan cerita roman;
- Beberapa karangan mas Marco Martodikromo, berjudul: Mata Gelap (1914), Studen Hidjo (1919), Syair Rempah-Rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924). Karangan mas Marco Martodikromo ini oleh pemerintah Hindia Belanda dikategorikan sebagai “bacaan liar”, karena berisi hasutanhasutan buat memberontak;
- Edward Douwes Dekker, seseorang pengarang bangsa Belanda yg menggunakan nama samaran Multatuli menerbitkan karya sastranya yang berjudul “Max Havelaar”. Buku tersebut menggambarkan penderitaan masyarakat pribumi pada bawah kekuasaan pemerintahan penjajah Belanda. Tulisan tersebut dibentuk dari pengalamannya saat bertugas pada Indonesia, sebagai asisten residen Lebak, Banten tahun 1856; e) Pada tahun 1908 pemerintah Hindia Belanda mendirikan “commissie voor de Inlandsche school de volkslectuur” atau Komisi Bacaan Rakyat atau Balai Pustaka yg bertugas mengusut serta mencetak naskah-naskah cerita masyarakat yang ditulis pada bahasa daerah. Perkembangan berikutnya komisi tersebut pula menerbitkan kisah kepahlawanan orang-orang Belanda serta cerita-cerita antik Eropa;
- Pada tahun 1914, Balai Pustaka menerbitkan roman pertama pada bahasa Sunda berjudul: “Beruang ka nu Ngarora” ialah Racun Bagi Kaum Muda pengarangnya D.K. Ardiwinata;
- Pada tahun 1918, Balai Pustaka menerbitkan karya saduran Merari Siregar yg berjudul cerita Si Jamin dan si Johan, disadur dari karya J. Van Maurik. Selain itu Merari Siregar pula mengarang kitab roman “Azab serta Sengsara”, adalah roman pertama berbahasa Indonesia yang diterbitkan Balai Pustaka dalam tahun 1920. Roman tersebut mengkritisi istiadat kawin paksa yang berlangsung pada masa itu;
- Pada tahun-tahun berikutnya ada beberapa roman yg menyoroti tema kawin paksa, yg diterbitkan oleh Balai Pustaka, antara lain:
• Siti Nurbaya, karangan Marah Rusli (1922);
• Muda Teruna, karangan Muhammad Kasim (1922);
• Karam Dalam Gelombang Percintaan, karya Kedjora (1926);
• Pertemuan, karya Abas Sutan Pamuntjak (1928);
• Tjinta Membawa Maut, karya Abdul Ager dan Nursiah Iskandar (1926);
• Darah Muda, karya Adi Negoro (1927);
• Asmara Djaja, karya Adi Negoro (1928);
• Salah Asuhan, karya Abdul Muis (1928).
5) Perkembangan seni pertunjukan dalam Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan Belanda perkembangan seni pertunjukan, khususnya seni drama modern diawali dengan adanya kelompok teater keliling “Teater Bangsawan” pada tahun 1870 yang asal dari Penang, Malaysia. Saat mengadakan pentas pada Jakarta rombongan tersebut bubar dan seluruh peralatannya dibeli sang Jaafar yang kemudian membentuk rombongan baru yang dinamainya” Stamboel “. Di Deli, Sumatra utara sudah berdiri teater Indera Ratoe Opera. Beberapa serikat seni pertunjukan yang ada di era penjajahan Belanda, diantaranya:
• Muda Teruna, karangan Muhammad Kasim (1922);
• Karam Dalam Gelombang Percintaan, karya Kedjora (1926);
• Pertemuan, karya Abas Sutan Pamuntjak (1928);
• Tjinta Membawa Maut, karya Abdul Ager dan Nursiah Iskandar (1926);
• Darah Muda, karya Adi Negoro (1927);
• Asmara Djaja, karya Adi Negoro (1928);
• Salah Asuhan, karya Abdul Muis (1928).
5) Perkembangan seni pertunjukan dalam Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan Belanda perkembangan seni pertunjukan, khususnya seni drama modern diawali dengan adanya kelompok teater keliling “Teater Bangsawan” pada tahun 1870 yang asal dari Penang, Malaysia. Saat mengadakan pentas pada Jakarta rombongan tersebut bubar dan seluruh peralatannya dibeli sang Jaafar yang kemudian membentuk rombongan baru yang dinamainya” Stamboel “. Di Deli, Sumatra utara sudah berdiri teater Indera Ratoe Opera. Beberapa serikat seni pertunjukan yang ada di era penjajahan Belanda, diantaranya:
- Di Surabaya timbul serikat teater bernama Komedi Stamboel yang didirikan oleh August Mehieu, seseorang peranakan indo – Perancis, dan didukung dana sang Yap Goam Tay dan Cassim, bekas pemain teater Indera Bangsawan;
- Di lingkungan rakyat keturunan Cina pada tahun 1908 mendirikan “Opera Derma” atau “Tjoe Tee Hie”, lalu tahun 1911 ada perkumpulan teater “Tjia Im”, “Kim Ban Lian”, Tjin Ban Lian” yg kemudian timbul gerombolan teater paling populer adalah “Orion” atau “Miss Riboet’s Orion” dengan bintang panggungnya yang bernama Miss Riboet;
- Di Surabaya pada tanggal 21 Juni 1926, Willy Klimanoff, seseorang Rusia kelahiran Surabaya mendirikan rombongan sandiwara keliling “Dardanella” yg sangat populer. Teater tersebut didukung bintang anjung Tan Tjeng Bok (lalu sebagai bintang film terkenal) dan berhasil mengadakan pertunjukan keliling ke Cina, Burma, serta Eropa, kemudian bubar;
- Perdro dan Dja, bekas anggota Dardanella mendirikan gerombolan “Bolero”;
- Fifi Young dan Nyoo Cheong, jua bekas anggota Dardanella mendirikan rombongan baru yang dinamainya “Fifi Young’s Pagoda” dalam tahun 1936;
- Pada masa penjajahan Jepang, tahun 1942 timbul teater Bintang Surabaya yg dipimpin oleh Fred Young dengan anggota para bekas bintang-bintang Dardanella, yakni Tan Tjeng Bok, Astaman, Dahlia, Ali Yogo, serta Fifi Young;
- Pada tahun 1943, bermunculan rombonganrombongan teater, misalnya Dewi Mada pimpinan Ferry Kok serta isterinya Dewi Mada, teater Warna Sari pimpinan Dasaad Muchsin, serta teater Irama Masa pimpinan Ali Yogo. Semua teater tersebut menggunakan bahasa Indonesia;
- Berikutnya muncul teater-teater baru yg menggunakan bahasa daerah, antara lain Teater Miss Tjitjih pimpinan Abubakar Bafakih yg memakai bahasa Sunda, Sandiwara Wargo pimpinan Suripto memakai bahasa Jawa, serta seseorang tokoh teater bernama Tio Jr membangun teater Miss Riboet di Solo.
Demikian rakyat belajar--sekalian mengenai Perkembangan seni sastra dalam masa penjajahan di Indonesia, semoga bermanfaat buat menambah ilmu pengetahuan kalian, terimakasih.
Source: Indriyawati, E. 2009. Antropologi 1 : Untuk Kelas XII SMA serta MA. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Source: Indriyawati, E. 2009. Antropologi 1 : Untuk Kelas XII SMA serta MA. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
0 Response to "MENGENAL PERKEMBANGAN SENI SASTRA PADA MASA PENJAJAHAN"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.